____Hamba ALLAH____

____Hamba ALLAH____

Rabu, 08 Desember 2010

Lupakan Dendam jadilah Pemaaf

Dendam nyaris selalu disertai sakit hati.
Dan itu sering menjadi dasar untuk
melakukan sebuah pembalasan. Saat
orang lain melakukan sesuatu yang tidak
kita sukai, tiba-tiba saja kita merasa
mendapatkan ijin khusus dari Tuhan untuk melakukan pembalasan. Bahkan, tidak
jarang kita memberikan `bonus’ nya sekalian. Jika anda menampar saya
perlahan, maka sebagai bonusnya,
tamparan balasan dari saya bisa sangat
keras sekali. Kalau perlu, hingga membuat
anda pingsan. Jika hari ini saya belum bisa
membalas anda, maka semuanya itu akan berubah menjadi utang yang wajib untuk
dibayarkan kepada anda dimasa depan.
Jika tangan saya sendiri tidak mampu
melakukannya, maka saya mengutus
orang lain untuk mewakili terlunasinya
utang-utang itu. Berikut bunganya sekalian. Bukan begitukah kita
mendefinisikan sebuah dendam? Secara garis besar, ada tiga komponen
yang menghidupi dendam, yaitu:
perbuatan orang lain kepada kita, rasa
sakit hati, dan pembalasan. Mari kita
bahas, satu demi satu. Pertama, perbuatan
orang lain kepada kita. Dalam banyak situasi, kita tidak bisa mengendalikan
perbuatan orang lain. Kita sama sekali
tidak memiliki hak untuk menyuruh atau
melarang orang lain untuk melakukan
atau menghindari sebuah perbuatan.
Paling banter, anda hanya bisa menghimbau. Misalnya dengan
mengatakan; “Maaf Mas, kalau mau merokok jangan diruangan ber-AC seperti
ini dong….” Apakah orang itu akan berhenti, atau pindah ketempat terbuka,
atau memasabodohkan perkataan anda;
itu diluar kuasa anda. Bahkan, sekalipun anda seorang atasan;
anda hanya bisa mengatakan;
“Optimalkan jam kerjamu.” Atau “Lakukan kegiatan ekstra untuk perusahaan.” Atau “Jangan terlambat masuk kerja. ” Anda bisa melakukannya sebatas itu. Sekalipun anda
melakukan semuanya itu atas
kewenangan anda dan demi kebaikan
organisasi dan diri mereka sendiri, tetapi
dimata mereka anda tidak lebih dari
seorang atasan yang bawel. Anda tak perlu heran. Sebab, anda sama sekali
tidak bisa mengontrol tindakan atau
perbuatan orang lain. Dengan kata lain;
anda sama sekali tidak memiliki kuasa
untuk mempengaruhi ‘will ’ seseorang. Mengapa? Karena, ‘kehendak’ adalah hak setiap manusia. Dan seperti yang kita
tahu; ada orang yang mampu
mengarahkan kehendaknya kepada hal-
hal postif dan produktif, dan ada pula
yang sebaliknya. Kedua, rasa sakit hati. Mungkin anda bisa
mengatakan ’sakit sekali hati ini’. Namun, bisakah anda menemukan dimanakah
letaknya rasa sakit hati itu? Dibawa
kerumahsakit pun tidak akan membantu
anda menemukan letak rasa sakit itu.
Mengapa? Karena sakit hati adanya
diawang-awang. Yang bisa menjangkaunya hanyalah perasaan. Liver
kita sehat walafiat. Tetapi, mengapa kita
merasakan sakit begitu rupa? Karena kita
membiarkan perasaan merengkuh rasa
sakit itu. Dan membawanya masuk
kedalam hati kita. Seandainya kita tidak mengijinkan perasaan menggapainya,
maka kita tidak akan merasakannya. Oleh karena itu, sakit hati sama sekali
tidak berhubungan dengan tindakan
orang lain; melainkan dengan diri kita
sendiri. Jika kita tidak menginginkan rasa
sakit hati itu, maka tindakan apapun yang
dilakukan oleh orang lain tidak akan berhasil menjadikan kita sakit hati. Ada
orang yang menghina anda sebegitu rupa;
namun, anda tidak mengijinkan perasaan
membawa sakit hati. Maka anda akan
tenang- tenang saja. Ada orang yang
menggosipkan tentang kekurangan- kekurangan anda. Dan tentu saja, gosip
baru enak kalau ditambah dengan
bumbu-bumbu, bukan? Sehingga,
dilingkungan anda terbentuk opini yang
sedemikian buruknya tentang anda. Anda
sakit hati? Tidak, jika anda tidak mengijinkan sang perasaan melakukannya.
Sekalipun tidak semua yang mereka
katakan tentang anda itu benar. Artinya,
ada bumbu tambahan yang dilebih-
lebihkan. Jika anda benar-benar tidak
seperti yang mereka katakan; maka itu tidak akan terlalu berpengaruh kepada
baik atau buruknya diri anda. So what? Ketiga, pembalasan. Anda boleh
melakukan pembalasan dengan 3 syarat;
kalau anda lebih kuat, kalau ingin
membuat dendam baru, dan kalau anda
kurang kerjaan. Kalau mereka lebih kuat
dari anda, dan anda ngotot untuk melakukan pembalasan itu berarti anda
bunuh diri. Jadi, melakukan pembalasan
kepada pihak yang lebih kuat itu sama
sekali bukanlah tindakan yang cerdas. Jika
anda benar-benar cerdas, lebih baik
lupakan saja itu yang namanya balas dendam. Buang jauh-jauh sifat dendam,
dan anda akan hidup dengan tentram.
Mungkin anda bisa membalas dendam.
Sehingga ketika dendam itu terbalaskan,
hati anda sembuh dari sakit. Hey, harap
diingat; pembalasan anda bisa menumbuhkan dendam lain dihati
mereka. Kemudian mereka membalas lagi
kepada anda, lalu anda kembali
membalasnya. Maka jadilah dendam itu
berputar-putar sampai tidak tahu kapan
saatnya untuk berhenti. Sehingga, anak keturunan kita harus ikut menanggung
dendam yang sama; meskipun mereka
tidak tahu menahu apa penyebabnya.
Maukah anda mengorbankan anak cucu
untuk sebuah dendam yang anda buat
dengan orang lain? Tidak. Baguslah itu. Jadi, mari kita lupakan dendam kesumat
itu. Cukup sampai disitu saja. Lagipula, anda bukanlah orang yang
kekurangan pekerjaan. Ada seribu satu hal
penting yang membutuhkan curahan
perhatian kita. Dengan melakukan
semuanya itu, hidup kita menjadi lebih
berarti. Jika kita membuang-buang waktu, tenaga, dan perhatian hanya untuk
mengurusi dendam; maka semua hal
positif yang menanti kita untuk bertindak
akan terbengkalai begitu rupa. Sehingga,
hidup kita menjadi kurang bermakna. Jadi,
bisakah kita mengatakan kepada diri kita sendiri bahwa; ‘kita tidak memiliki waktu untuk membalas dendam’. Oleh karena itu, setiap perbuatan buruk orang lain
kepada kita, tidak perlu dibalas dengan
perbuatan buruk yang sama. Dengan
begitu, selain kita bisa menjadi manusia
yang pemaaf; kita akan terbebas dari
sesuatu yang kita sebut sebagai ’sakit hati’ itu. Kita juga bisa melakukan banyak hal
lain yang lebih berguna dalam hidup ini.
Jadi, perlukan membawa-bawa dendam
ini disepanjang hidup kita? Sahabat, “Dalam ajaran Islam membalas itu tidak terlarang, akan tetapi
memaafkan itu jauh lebih baik..” Suatu hari ‘Aisyah yang tengah duduk santai bersama suaminya, Rasulullah saw,
dikagetkan oleh kedatangan seorang
Yahudi yang minta izin masuk ke
rumahnya dengan ucapan
Assamu’alaikum (kecelakaan bagimu) sebagai ganti ucapan Assamu’alaikum kepada Rasulullah.
Tak lama kemudian datang lagi Yahudi
yang lain dengan perbuatan yang sama. Ia
masuk dan mengucapkan Assamu’alaikum. Jelas sekali bahwa mereka datang dengan
sengaja untuk mengganggu ketenangan
Rasulullah. Menyaksikan pola tingkah
mereka, Aisyah gemas dan berteriak:
Kalianlah yang celaka!
Rasulullah tidak menyukai reaksi keras istrinya. Beliau menegur, Hai ˜Aisyah, jangan kau ucapkan sesuatu yang keji.
Seandainya Allah menampakkan
gambaran yang keji secara nyata, niscaya
dia akan berbentuk sesuatu yang paling
buruk dan jahat. Berlemah lembut atas
semua yang telah terjadi akan menghias dan memperindah perbuatan itu, dan atas
segala sesuatu yang bakal terjadi akan
menanamkan keindahannya. Kenapa
engkau harus marah dan berang?” “Ya Rasulullah, apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan
secara keji sebagai pengganti dari ucapan
salam?” “Ya, aku telah mendengarnya. Aku pun telah menjawabnya wa ’alaikum (juga atas kalian), dan itu sudah cukup.” Manusia agung, Muhammad saw ini lagi-
lagi memberikan pelajaran yag sangat
berharga kepada istrinya, yang tentu saja
berlaku pula bagi segenap kaum
muslimin. Betapa beliau telah
menunjukkan suatu kepribadian yang amat matang dan sangat dewasa dalam
menghadapi berbagai keadaan. Begitu
kokoh pemahaman dirinya, sehingga tidak
mudah terpancing amarahnya. Suatu
pengendalian emosi yang luar biasa. Sebagai istri, ‘Aisyah tentu tidak rela manakala suami tercintanya menerima
ucapan keji dan busuk, sebagaimana yang
diucapkan oleh orang Yahudi. Darahnya
segera mendidih, dan tanpa kendali
keluarlah dari kedua bibirnya kata-kata
keji pula sebagai balasan atas mereka. Apa yang dikatakan oleh ‘Aisyah sebenarnya dalam batas kewajaran. Ia
tidak berlebihan dalam mengumpat dan
mengata-katai mereka. Ia hanya
membalas secara setimpal apa yang
mereka ucapkan. Akan tetapi Rasulullah
belum berkenan terhadap ucapan istrinya. Beliau ingin agar ‘Aisyah mengganti ucapannya dengan satu kata yang lugas
tapi tetap sopan. Rasulullah berkata,
Wa’alaikum, itu sudah cukup.’ Keperkasaan seseorang tidak bisa diukur
dari kekuatan fisiknya. Orang yang jantan,
bukan mereka yang ahli bertinju, bukan
mereka yang di setiap pertandingan tak
terkalahkan. Menurut determinasi Islam
orang yang kuat adalah mereka yang dikala marah bisa menahan dirinya.
Rasulullah bersabda, “Bukan dikatakan pemberani karena seseorang cepat
meluapkan amarahnya. Seorang
pemberani adalah mereka yang dapat
menguasai diri (nafsu)-nya sewaktu
marah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Rasulullah bersabda: “Ada tiga hal yang jika dimiliki seseorang, ia akan
mendapatkan pemeliharaan dari Allah,
akan dipenuhi dengan rahmat-Nya, dan
Allah akan senantiasa memasukkannya
dalam lingkungan hamba yang
mendapatkan cinta-Nya, yaitu (1) seseorang yang selalu bersyukur
manakala mendapat nikmat dari-Nya, (2)
seseorang yang mampu meluapkan
amarahnya tetapi mampu memberi maaf
atas kesalahan orang, (3) seseorang yang
apabila sedang marah, dia menghentikan marahnya. ” (HR. Hakim).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar