____Hamba ALLAH____

____Hamba ALLAH____

Kamis, 09 Desember 2010

Ketekunan itu mahal

Di sebuah negeri hiduplah dua orang
pengrajin yang tinggal bersebelahan.
Mereka adalah pengrajin emas dan
pengrajin kuningan. Keduanya telah lama
menjalani pekerjaan itu, sebab itu adalah
pekerjaan yang diwariskan secara turun- temurun. Telah banyak pula barang yang
dihasilkan: cincin, kalung, gelang, dan
untaian rantai penghias. Setiap akhir bulan, mereka membawa
hasil kerja itu ke kota. Hari pasar,
demikian mereka menyebut hari itu.
Mereka akan menjual barang-barang
logam itu dan membeli keperluan selama
sebulan. Beruntunglah pekan depan akan ada rombongan tamu agung mengunjungi
kota dan bermaksud memborong barang-
barang yang ada disana. Kabar ini tentu
membuat mereka senang. Tentu, berita ini
mendorong para pedagang agar membuat
lebih banyak barang untuk dijajakan. Tak terkecuali dua orang pengrajin yang
menjadi tokoh kita ini. Siang-malam terdengar suara logam
ditempa. Tungku-tungku api seakan tak
pernah padam. Kayu bakar yang
membara seakan mewakili semangat
keduanya. Percik-percik api yang timbul
tak pernah dihiraukan mereka. Keduanya sibuk dengan pekerjaannya masing-
masing. Sudah puluhan cincin, kalung, dan
untaian rantai penghias telah dihasilkan.
Hari pasar makin dekat. Dan, lusa adalah
waktu yang tepat untuk berangkat ke
kota. Hari pasar telah tiba dan keduanya pun
sampai di kota. Hamparan terpal telah
digelar, tanda barang dagangan siap
dijajakan. Keduanya pun berjejer
berdampingan. Tampaklah barang-barang
logam yang telah dihasilkan. Namun, ah sayang.., ada kontras diantara keduanya.
Walaupun terbuat dari logam mulia,
barang-barang yang dibuat oleh pengrajin
emas tampak kusam. Warnanya tidak
berkilau. Ulir-ulirnya kasar. Pokok-pokok
simpul rantai tidak rapi. Seakan pembuatnya adalah orang yang tergesa-
gesa. ”Ah, biar saja,” demikian ucapan yang terlontar saat pengrajin kuningan
menanyakan kenapa perhiasan kawannya
tampak kusam. ”Setiap orang akan memilih daganganku, sebab emas selalu
lebih baik dari kuningan,” ujar pengrajin emas lagi. ”Apalah artinya logam buatanmu dibanding logam mulia yang
kupunya. Aku akan membawa uang lebih
banyak darimu ” Pengrajin kuningan hanya tersenyum.
Ketekunannya mengasah logam membuat
semua hasil karyanya lebih bersinar. Ulir-
ulirnya halus. Lekuk-lekuk cincin dan
gelang buatannya terlihat seperti
lingkaran yang tak putus. Liku-liku rantai penghiasnya pun lebih sedap dipandang
mata. Ketekunan memang mahal. Hampir semua
orang yang lewat tak menaruh perhatian
pada pengrajin emas. Mereka lebih suka
mendatangi cincin dan kalung kuningan.
Begitupun tetamu agung yang berkenan
datang. Mereka pun lebih menyukai benda-benda kuningan itu dibandingkan
dengan logam mulia. Sebab, emas itu
tidaklah cukup membuat mereka tertarik
dan mau membelinya. Sekali lagi,
terpampang kekontrasan di hari pasar itu.
Perajin emas tertegun diam dan perajin kuningan tersenyum senang. Hari pasar usai. Para tetamu telah kembali
pulang. Kedua pengrajin itu pun telah
membereskan barang dagangan. Dan,
keduanya mendapat pelajaran dari apa
yang telah mereka lakukan hari itu. – Teman, ketekunan memang mahal. Tak
banyak orang yang bisa menjalaninya.
Begitupun kemuliaan dan harga diri. Tak
banyak orang yang menyadari bahwa
kedua hal itu tak berasal dari apa yang
kita sandang hari ini. Setidaknya tindak- laku kedua pengrajin di atas adalah
potongan siluet kehidupan kita. Ketekunan adalah titin jalan panjang yang
licin berliku. Seringkali jalan panjang itu
membuat kita tergelincir dan jatuh. Sering
pula titian itu menjadi saringan penentu
bagi setiap orang yang hendak menuju
kepada kebahagiaan di ujung simpulnya. Namun percayalah, ada balasan bagi
ketekunan. Di ujung sana ada sesuatu
yang menunggu setiap orang yang mau
menekuni jalan itu. Emas dan kuningan tentu punya nilai
yang berbeda. Tapi, apakah kemuliaan
dinilai hanya apa yang disandang
keduanya? Apakah harga diri hanya
ditunjukkan dari simbol-simbol yang
tampak dari luar? Sebab, kita sama-sama belajar dari pengrajin kuningan bahwa
kemuliaan adalah buah dari ketekunan.
Dan, bahwa kemalasan akan
membuahkan kelemahan jiwa. Membentuk ketekunan mungkin hampir
sama sulitnya dengan menempa logam,
bahkan lebih sulit. Tanyakan saja kepada
mereka yang berusaha untuk tekun
qiyamullail, betapa sulit dan keras
usahanya. Atau tanyakan kepada mereka bagaimana beratnya membiasakan diri
shoum sunnah. Atau coba tanyakan
kepada mereka yang sudah menekuni
tilawah Qur ’an 10 halaman hingga satu juz setiap harinya. Tanyakan kepada
mereka yang punya hafalan 5 juz. Atau
coba tanyakan pula kepada saudara kita
yang sudah berusaha menekuni diri selalu
hadir di majelis halaqoh dan majelis
taklim. Apalagi mereka yang menekuni peran sebagai guru, murabbi atau ustadz.
Hanya orang bermental baja yang
bersedia menekuni pekerjaan itu. Sekali lagi, ketekunan itu mahal. Dan,
ketekunan itulah yang bisa merubah nilai
atau harga diri seseorang, walaupun pada
mulanya ia hanyalah berasal dari
keluarga "kuningan" bukan keluarga
"emas". Karakter diri yang kuat, kedewasaan, daya juang yang tinggi dan
kematangan bertindak hanya mungkin
diraih oleh orang-orang yang punya
ketekunan dan mau berproses untuk bisa
menjadi tekun. Tingkat ketekunan adalah
ukuran yang bisa dipercaya untuk menilai seseorang. Bisa jadi saat ini kita pandai, kaya, punya
kedudukan yang tinggi, dan hidup
sempurna layaknya emas mulia. Namun,
adakah semua itu berharga bila ulir-ulir
hati kita kasar dan kusam? Adakah itu
mulia, jika lekuk-lekuk kalbu kita koyak dan penuh dengan tonjolan-tonjolan
kedengkian? Adakah itu semua punya
harga jika pokok-pokok simpul jiwa yang
kita punya tak dipenuhi dengan simpul-
simpul ikhlas dan perangai nan luhur? Teman, mari kita asah kalbu dan hati kita
agar bersinar mulia. Mari kita bentuk ulir
dan leku-lekuk jiwa kita dengan
ketekunan agar menampilkan cahaya-
Nya. Susunlah simpul-simpul itu dengan
jalinan keluhuran budi dan perilaku. Tempalah dengan kesungguhan diri agar
hati kita tidak keras dan menjadi lembut,
luwes, serta mampu memenuhi hati orang
lain. Percayalah, ada imbalan untuk
semua itu. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar