____Hamba ALLAH____

____Hamba ALLAH____

Rabu, 08 Desember 2010

Hubungan Hadist dengan Al Quran

Al-hadits didefinisikan oleh pd umumnya
ulama-seperti
definisi Al-Sunnah-- sbgai
"Segala sesuatu yg
dinisbahkan kepada Muhammad saw.,
baik ucapan, perbuatan & taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik &
psikis, baik
sebelum beliau mnjadi nabi maupun
sesudahnya."
Ulama ushul
fiqh, membatasi pengertian hadis hnya pada "ucapan-ucapan Nabi Muhammad yg berkaitan dgn
hukum"; sedangkan bila mencakup pula perbuatan taqrir
beliau yang
berkaitan dgn hukum, maka ketiga hal ini
mereka namai
Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yg
dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan
sebagai bagian dari
wahyu Allah SWT yg tidak berbeda dari
segi kwajiban
menaatinya dgn ketetapan2 hukum yg
bersumber dari wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama tafsir mengamati
bahwa perintah taat
kepada Allah dan Rasul-Nya yg
ditemukan dalam Al-Quran
dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah
Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua
adalah Athi'u Allah wa
athi'u al-rasul. Perintah pertama mencakup kwajiban taat
kepada beliau dalam hal yg sejalan
dengan perintah
Allah SWT; karena itu, redaksi trsebut
mencukupkan sekali
saja penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup
kwajiban taat kepada beliau walaupun
dalam hal-hal yg
tidak disebut secara eksplisit oleh Allah
SWT dlm
Al-Quran, bahkan kewajiban taat kpd Nabi trsebut mungkin
harus dilakukan terlebih dahulu -dalam
kondisi tertentu-
walaupun ketika sedang melaksanakan
perintah Allah SWT,
sbgaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yg
ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul
saw. Itu sebabnya
dlm redaksi kedua di atas, kata athi'u
diulang dua kali,
& atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr
tidak dibarengi dengan kata athi'u karena
ketaatan trhadap
mereka tidak berdiri sndiri, tetapi
bersyarat dgn
sejalannya printah mereka dgn ajaran2 Allah dan
Rasul-Nya. (perhatikan Firman Allah dlm QS 4:59).
Menerima
ketetapan Rasul saw. dengan penuh
kesadaran & kerelaan
tanpa sedikit pun rasa enggan &
pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun
setelah itu, merupakan
syarat keabsahan iman seseorang,
demikian Allah bersumpah
dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65. Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa
terdapat
perbedaan yang menonjol antara hadis
dan Al-Quran dari segi
redaksi dan cara penyampaian atau
penerimaannya. Dari segi
redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran
disusun langsung oleh
Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar
menyampaikan kepada
Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya
kepada umat, dan demikian seterusnya
generasi demi generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu,
dapat dipastikan tidak
mengalami perubahan, karena sejak
diterimanya oleh Nabi, ia
ditulis & dihafal oleh sekian banyak
sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah
orang yg
menurut adat- mustahil akan sepakat
berbohong. Atas dasar
ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi
qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yg pada umumnya
disampaikan oleh
orang per orang dan itu pun seringkali
dengan redaksi yg
sedikit berbeda dgn redaksi yang
diucapkan oleh Nabi saw. Fungsi Hadis terhadap Al-Quran Al-Quran menekankan bhwa Rasul saw.
berfungsi
menjelaskan maksud firman Allah (QS
16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dlm
pandangan sekian bnyk
ulama beraneka ragam bentuk & sifat
serta fungsinya.
'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-
Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi
Tarikhiha menulis
bhwa Sunnah mempunyai fungsi yg
berhubungan dgn
Al-Quran dan fungsi sehubungan dgn
pembinaan hukum syara'. Dgn menunjuk kepada pendapat
Al-Syafi'i dlm
Al-Risalah, 'Abdul Halim menegaskan
bhwa, dlm kaitannya
dgn Al-Quran, ada 2 fungsi Al-Sunnah yg
tidak diperselisihkan, yaitu apa yg diistilahkan
oleh sementara
ulama dengan bayan ta'kid & bayan tafsir.
Yg pertama
sekadar menguatkan atau
menggarisbawahi kembali apa yg trdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yg
kedua
memperjelas, merinci, bahkan membatasi,
pengertian lahir
dari ayat-ayat Al-Quran. Persoalan yg diperselisihkan adalah,
apakah hadis atau
Sunnah dapat berfungsi menetapkan
hukum baru yg belum
ditetapkan dalam Al-Quran?
Kelompok yg menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah
(keterpeliharaan Nabi
dari dosa dan kesalahan, kususnya dlm
bidang syariat)
apalagi sekian banyak ayat yg
menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw.
untuk ditaati. Kelompok yg
menolaknya berpendapat bhwa sumber
hukum hnya Allah, Inn
al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun
harus merujuk kpd Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika
hendak menetapkan
hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas
seperti apa yg
dikemukakan di atas, maka jln keluarnya mungkin tidak
terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah
terhadap Al-Quran
didefinisikan sbgi bayan murad Allah
(penjelasan tentang
maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan
penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan
maupun tambahan,
kesemuanya bersumber dari Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar